SEJARAH PERKEMBANGAN BUDDHISME DI INDONESIA
A.
Pendahuluan
Untuk
mengetahui awal masuknya Buddhisme (Agama Buddha) ke Indonesia, kita memerlukan
sumber yang mengacu pada peninggalan-peninggalan masa lampau.
Peningggalan-peninggalan masa lalu tersebut terdiri dari prasasti-prasasti yang
ditemukan dan berita-berita luar negeri, yaitu dari orang-orang China yang mengunjungi
Indonesia. Prasasti yang berasal dari abad kelima hingga ketujuh tidak terlalu
banyak memberikan informasi. Prasasti itu berasal dari Kalimantan, Sumatera dan
Jawa. Dari prasasti itu kita hanya mengetahui bahwa pada waktu itu ada
raja-raja yang memiliki nama yang berbau India, seperti Mulawarman di Kutai dan
Purnawarman di Jawa Barat. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa raja
tersebut berasal dari India. Yang paling mungkin adalah raja-raja tersebut
adalah orang Indonesia asli yang sudah memeluk agama yang datang dari India. Selanjutnya
prasasti tersebut menunjukan bahwa agama yang dipeluk adalah Hinduisme (bukan
Buddhisme). Tetapi dari penemuan patung-patung Buddha di beberapa bagian di
Indonesia, jelaslah dapat disimpulkan bahwa Buddhisme juga sudah memasuki
Indonesia, walaupun mungkin belum begitu meluas.
Sebelum
kedatangan agama yang datang dari India, dapat dipastikan bahwa Pada jaman
dahulu orang-orang di Indonesia menyembah dan memuja roh leluhur. Leluhur
dianggap sebagai yang telah berjasa dan mempunyai banyak pengalaman. Roh
leluhur, Hyang, atau Dahyang, demikian beberapa sebutan yang biasa dipakai,
menurut kepercayaan pada waktu itu dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat
digunakan oleh orang-orang yang masih hidup. Kekuatan gaib itu diperlukan jika
orang mulai suatu pekerjaan yang penting. Misalnya akan berangkat perang, akan
mulai mengerjakan tanah, dan lain sebagainya.
Mereka
percaya juga bahwa benda-benda seperti pohon besar, batu besar, gunung dan
sebagainya dihuni oleh roh-roh. Ada kalanya benda-benda atau senjata-senjata
juga dianggap bertuah dan sakti sehingga dijadikan jimat oleh pemiliknya.
Upacara pemujaan roh leluhur harus diatur sebaik-baiknya, agar restu mudah
diperoleh. Pertunjukan wayang erat hubungannya dengan upacara tersebut.
Kepercayaan kepada Hyang masih dapat kita lihat sampai saat ini.
B.
Jaman
Kerajaan Sriwijaya Dan Kalinga
Pada
akhir abad ke-7, seorang bhiksu yang berasal dari Dinasti Tang di China yang
bernama I-Tsing (635-713) mencatat dengan lengkap mengenai Agama Buddha dan
aplikasinya di India dan Melayu. Ia melakukan perjalanan ke India pada tahun
672 dan singgah ke Sriwijaya, Sumatera, pada tahun 685. I-Tsing menghabiskan
waktunya hidup sendirian sebagai bhiksu di India dan Sumatera. Seluruh bukunya
merupakan catatan lengkap tentang kehidupan biarawan. Ia tinggal di India
seluruhnya berdasarkan peraturan vinaya.
Bila
dibandingkan catatan Fa Hsien tahun 414 dengan catatan I-Tsing, dapat diambil
kesimpulan bahwa Agama Buddha di pulau Jawa dan Sumatera telah dibangun dengan
sangat cepat. Pekerjaan I-Tsing selain menulis catatan seperti dikemukakan di
atas, ia juga menulis buku tentang perjalanan seorang guru agama asal China
bernama Hwui Ning yang datang ke Kerajaan Kalingga (Ho-Ling) di Jawa.
Prasasti
lain yang dibuat tahun 775, ditemukan di Viengsa, semenanjung Melayu
mengemukakan bahwa salah satu raja Sriwijaya dari keturunan Sailendra - yang
tidak cuma memerintah di selatan Sumatera tapi juga dibagian selatan
semenanjung Melayu - memerintahkan pembangunan tiga stupa. Ketiga stupa
tersebut dipersembahkan kepada Buddha, Bodhisattva Avalokitesvara dan
Vajrapani. Dan ditempat lain ditemukan plat emas yang bertuliskan beberapa nama
Dyani Buddha; yang jelas-jelas merupakan aliran Mahayana.
Dari
berita I-Tsing dan beberapa prasasti tersebut, selanjutnya kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa pada waktu itu, Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan yang
termasyur karena merupakan pusat ilmu dan kebudayaan Buddhis. Di sana terdapat
banyak vihara dan dihuni oleh ribuan bhikkhu. Di Perguruan Tinggi Agama Buddha
di Sriwijaya, selain kuliah-kuliah tentang Agama Buddha, orang dapat mengikuti
juga kuliah-kuliah tentang bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi).
Kemudian,
seiring dengan pergantian waktu, agaknya Mahayanalah yang berkembang dan
berpengaruh besar di bumi Sriwijaya. Hal ini terbukti dari beberapa prasasti
yang didapat disekitar Palembang yang menyebutkan bahwa “daputa hyang”
(barangkali berarti perdana menteri) berusaha mencari berkat dan kekuatan gaib
(kesaktian) guna meneguhkan kerajaan Sriwijaya, agar segala mahluk dapat
menikmatinya. Dari ungkapan-ungkapan yang digunakan tersebut, dapat diambil
kesimpulan bahwa upacara ini adalah upacara Indonesia kuno yang sesuai dengan
ajaran Mahayana. Dari berita-berita yang lain jelaslah bahwa Mahayanalah yang
berpengaruh pada masa itu. Bahkan bukan cuma itu saja, mungkin pengaruh Tantra
(Vajrayana), yang di India mempengaruhi Agama Buddha sejak pertengahan abad
ketujuh, juga terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat dari uraian bahwa salah
satu tingkat untuk mendapatkan kondisi tertinggi adalah Vajra Sarira atau Tubuh
Intan, yang mengingatkan kita kepada ajaran Vajrayana.
Dari
uraian di atas dapat dikataan bahwa pada tahap permulaan masih ada hubungan
yang erat
antara Indonesia dan India. Namun, hubungan ini agaknya makin lama
makin berkurang.
C.
Jaman
Kerajaan Sailendra
Informasi
mengenai keadaan Agama Buddha pada masa Kerajaan Sailendra nampaknya lebih
jelas dibanding pada masa Kerajaan Sriwijaya. Hal ini dikarenakan sumber-sumber
yang memberi informasi mengenai Agama Buddha lebih banyak, misalnya dengan
keberadaan prasasi-prasasti dan bangunan-bangunan seperti candi.
Sekitar
tahun 775 sampai dengan 850 di daerah Bagelan dan Yogyakarta, di Jawa Tengah
berkuasalah raja-raja dari wangsa Sailendra yang memeluk Agama Buddha dan
wangsa Sanjaya yang memeluk agama Hindu-Shiva. Inilah jaman keemasan bagi
Mataram dan negara pada saat itu aman dan makmur karena kedua wangsa (dinasti)
itu saling menolong satu sama yang lain dalam mendirikan tempat-tempat suci
(candi).
Di
kerajaan Sailendra agama yang dipeluk adalah Agama Buddha Mahayana. Hal ini
dapat diketahui dari peninggalan-peninggalan sejarah dan candi dari kerajaan ini
yang bercorak Mahayana. Walaupun kerajaan Sailendra banyak mendirikan candi
namun masih terbilang sedikit bila dibandingkan dengan candi yang dibangun oleh
kerajaan Sanjaya. Selain berdasarkan prasasti-prasasti yang ada, bahwa Agama
Buddha yang berkembang adalah Buddha Mahayana, jelas terlihat dari candi di
desa Kalasan - yang kemudian diabadikan sebagai nama candi tersebut. Candi ini
dipergunakan untuk pemujaan kepada Tara, pemujaan kepada Bodhisattva
Avalokitesvara, peresmian rupang (arca) Bodhisattva Manjusri, dan sebaginya.
Nampaknya,
pada masa ini kerajaan di Jawa Tengah masih ada hubungan yang erat dengan
India, sebab ada juga berita bahwa seorang guru dari Gaudadwipa (Bengala) yang
memimpin upacara pada waktu peresmian rupang Manjusri. Demikian juga
diberitakan diprasasti lain bahwa ada orang dari Gujarat yang senantiasa
melakukan kebaktian di candi tertentu. Dugaan itu berasal dari berita di India.
Raja Dewapala dari dinasti Pala (Bengala) pada tahun pemerintahannya yang ke-39
(antara tahun 856 sampai 860) menghadiahkan beberapa desa untuk keperluan
pemeliharan sebuah vihara di Nalanda, yang didirikan oleh Balaputra, raja dari
Suwarnadwipa (Sumatera), cucu raja di Jawa.
Sekalipun
demikian, nampaknya keadaan di Jawa Tengah tidaklah sama dengan keadaan di
Sriwijaya yang menjadi pusat Agama Buddha. Namun, aliran Mahayana yang
bagaimanakah yang berkembang di Jawa Tengah? Pertanyaan ini sukar untuk
dijawab. Tapi, yang perlu diperhatikan adalah apa yang tertera pada prasasti
Kalurak (782) yang agaknya berhubungan dengan peresmian rupang Manjusri.
Disebutkan dalam prasasti itu bahwa Manjusri selain disamakan dan anggap
sebagai salah satu perwujudan dari Triratna (Buddha, Dhamma, dan Sangha), Ia
juga disamakan dan anggap sebagai salah satu perwujudan dari Trimurti yaitu
Brahma, Vishnu dan Mahesvara (Shiva). Hal ini menimbulkan suatu teori bahwa
telah terjadi sinkretisasi (penyerasian, pencampuran) antara Agama Buddha
Mahayana dengan agama Hindu di Jawa Tengah. Bagi para pengikut Mahayana di Jawa
Tengah, agaknya para Bodhisattva tidak dibedakan dengan dewa dari agama Hindu.
Disamping
prasasti, ada pula candi-candi yang menjadi bukti keberadaan Agama Buddha di
Jawa Tengah. Pada masa itu, ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang
Agama Buddha, sangatlah maju. Kesenian - terutama seni pahat, mencapai taraf
yang sangat tinggi. Seniman-seniman nusantara telah menghasilkan karya seni
yang mengagumkan, misalnya candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan, dan Sewu.
Dari candi-candi tersebut memberikan kita penjelasan yang lebih banyak. Selain
candi-candi tersebut di atas, sebenarnya masih banyak lagi candi-candi yang
didirikan atas perintah raja-raja Sailendra. Tetapi yang paling besar dan
paling indah serta terkenal adalah Candi Borobudur yang dibangun pada masa Raja
Samarottungga. Jika kita ingin memahami filosofi dibalik kemegahan Borobudur,
bangunan itu harus dipandang sebagai suatu satu kesatuan. Borobudur yang
mengandung filosofi Mahayana dan juga Tantrayana (Vajrayana) ini, secara
menyeluruh mengungkapkan gambaran mengenai alam semesta atau kosmos. Borobudur
terbagi atas tiga bagian, yaitu Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu. Kamadhatu
adalah tingkat hawa napsu dan ini digambarkan dengan jelas pada bagian bawah
atau kaki candi. Di sini merupakan kehidupan yang terikat oleh hawa napsu dan
segala hal yang berbau duniawi. Rupadhatu adalah tingkat dunia rupa, atau alam
yang terbentuk, yang digambarkan pada lima teras yang menggambarkan kehidupan
Buddha Gotama. Arupadhatu adalah tingkat alam yang tak berupa, tidak berbentuk.
Pada tingkat teratas terdapat sebuah stupa yang kosong, yang menggambarkan
sunyata atau Nirvana. Borobudur adalah tempat untuk bermeditasi, tempat untuk
merenung.
Mengingat
bahwa Borobudur dibangun diatas bukit, agaknya pembangunan Borobudur itu
dijiwai oleh gagasan Indonesia kuno, yaitu tentang adanya tempat suci yang
berbentuk teras, yang biasanya dipakai untuk menghormati nenek moyang, dan
terletak diatas bukit. Oleh karena itu maka kiranya pemujaan kepada Bodhisattva
sudah dipandang sebagai alat untuk menghormati nenek moyang mereka yang sudah
meninggal. Jika demikian maka Agama Buddha pada waktu ini sudah dipengaruhi
oleh cita-cita keagamaan Indonesia asli.
Setelah
Raja Samarottungga wafat, kerajaan Mataram kembali diperintah oleh raja-raja
dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu-Shiva, namun Agama Buddha dan agama
Hindu-Shiva dapat berkembang terus berdampingan dengan rukun dan damai.
D.
Jaman
Kerajaan Majapahit
Pada akhir abad ke-10 kita tidak
mendengar lagi kerajaan Hindu di Jawa Tengah, tetapi sejak tahun 929
prasasti-prasasi hanya terdapat di Jawa Timur. Di Jawa Timur, sepertinya Agama
Buddha dan agama Hindu-Shiva hidup berdampingan. Hal ini tertera dari prasasti-prasasti
dimana seorang empu bernama Sindok disebut dengan gelar Sri Isana (sebutan
Shiva) sedangkan putrinya menikah dengan Lokapala yang juga disebut Sugatapaksa
(sebutan Buddhis). Juga ditemukan pengaruh Tantra pada kedua agama ini cukup
kuat.
Dari
kepustakaan keagamaan yang ada, didapat bahwa kepustakaan yang terkuno disusun
sedemikian rupa, hingga terdiri dari ayat-ayat dalam bahasa Sanskerta, yang
diikuti oleh keterangan bebas dalam bahasa Jawa kuno. Dari sini terlihat bahwa
ayat-ayat itu berasal dari India. Jadi dalam karyanya pada masa itu orang masih
terikat pada kebudayaan India. Kemudian selanjutnya orang-orang pada masa itu
mulai menghasilkan kepustakaan yang seluruhnya ditulis dalam bahasa Jawa kuno
dengan diselingi bait-bait dalam bahasa Sanskerta. Hal ini menunjukkan bahwa
hubungan dengan kebudayaan India sudah mulai longgar. Dan terdapat kitab yang
seluruhnya terdiri dari bahasa Jawa kuno, hanya kadang terdapat selingan dalam
bahasa Sanskrit. Ini menunjukkan bahwa pengaruh kebudayaan India mulai
ditinggalkan.
Ada
dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana pada jaman ini, yaitu
“Sanghyang Kamahayanan Mantrayana” yang berisi mengenai ajaran yang ditujukan
kepada bhiksu yang sedang ditahbiskan, dan “Sanghyang Kamahayanikan” yang berisi
mengenai kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai pelepasan. Pokok
ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang
bermacam- macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Nampaknya,
sikap sinkretisme dari penulis “Sanghyang Kamahayanikan” tercermin dari
pengidentifikasian Shiva dengan Buddha dan menyebutnya sebagai
"Shiva-Buddha", bukan lagi Shiva atau Buddha, tetapi Shiva-Buddha
sebagai satu Tuhan.
Pada
jaman Majapahit (1292 - 1478), sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Sepertinya
aliran Hindu-Shiva, Hindu-Vishnu dan Agama Buddha dapat hidup bersamaan.
Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran
yang sama. Shiva dan Vishnu dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan sebagai
“Harihara” yaitu rupang (arca) setengah Shiva setengah Vishnu.
Shiva
dan Buddha dipandang sama. Di dalam kitab kakawin (syair) Arjunawijaya karya
Mpu Tantular misalnya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi
Buddha, para pandita menerangkan bahwa para Jina dari penjuru alam yang
digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Shiva.
Vairocana sama dengan SadaShiva yang menduduki posisi tengah. Aksobya sama
dengan Rudra yang menduduki posisi timur. Ratnasambhava sama dengan Brahma yang
menduduki posisi selatan, Amitabha sama dengan Mahadeva yang menduduki posisi
barat dan Amogasiddhi sama dengan Vishnu yang menduduki posisi utara. Oleh
karena itu para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara Agama
Buddha dengan Shiva. Dalam kitab “Kunjarakarna” disebutkan bahwa tiada seorang
pun, baik pengikut Shiva maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika ia
memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Shiva-Buddha.
Dari
penjelasan di atas, kita mendapat kesan bahwa pada waktu itu Agama Buddha lebih
berkembang dari agama Hindu-Shiva. Ini juga dapat dilihat dari kitab kakawin
Sutasoma yang juga merupakan karya Mpu Tantular yang hidup pada masa
pemerintahan Raja Hayam Wuruk, yang di dalamnya menceritakan tentang kemarahan Kalarudra
(tokoh agama Hindu) yang hendak membunuh Sutasoma yang diceritakan sebagai
titisan Buddha. Para dewata mencoba meredakan Kalarudra dengan mengingatkan
bahwa sebenarnya Buddha dan Shiva tidak bisa dibedakan. Jinatwa (hakekat
Buddha) adalah sama dengan Shivatattwa (hakekat Shiva). Selanjutnya dianjurkan
agar orang merenungkan Shiva-Buddha-tattwa, hakekat Shiva-Buddha. Dalam kakawin
Sutasoma di dalamnya juga terdapat kalimat Ciwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika
Tanhang Dharma Mandrawa. Dari kata-kata inilah kemudian diambil semboyan
"Bhinneka Tunggal Ika" yang kini dijadikan lambang Negara Republik
Indonesia yang melambangkan motto toleransi dan persatuan.
Begitu
juga dengan kisah Bubuksah. Dikisahkan ada dua saudara, yang tua bernama Gagang
Aking, menganut agama Hindu-Shiva dan yang muda bernama Bubuksah, menganut
Agama Buddha. Sejak muda mereka hidup sebagai pertapa di gunung Wilis. Bubuksah
makan segala sesuatu yang dapat dimakan sedangkan Gagang Aking menahan
makannya, ia hanya memakan tumbuh-tumbuhan saja. Mereka pun berdebat mengenai
dua jenis pertapaan ini. Sesudah beberapa waktu, dewa Mahaguru mengutus Kala
Wijaya dalam wujud harimau putih yang kelaparan untuk menguji kedua saudara
itu. Ketika harimau putih datang ke Gagang Aking untuk memakannya, harimau
tersebut dinasehati oleh Gagang Aking untuk pergi kepada saudaranya yaitu
Bubuksah, yang tubuhnya lebih gemuk daripada dirinya, sedangkan ia kurus
kering. Ketika harimau itu tiba ditempat Bubuksah, ia disambut dengan baik dan
dengan senang hati Bubuksah menyerahkan diri pada harimau itu untuk dimakannya.
Setelah itu Bubuksah dilahirkan di alam surga.
Dari
kisah di atas, jelas menunjukan sebuah polemik yang ingin menunjukkan
keunggulan dari Agama Buddha, dimana Bubuksah sebagai seorang Buddhis yang menghindari
praktik pertapaan yang ekstrem dan yang lebih menekankan sikap batin dibanding
dengan apa yang dimakan dalam kehidupannya, justru mendapatkan kebahagiaan.
Yang menarik adalah kisah ini dilukiskan pada relief candi Panataran yang
merupakan candi untuk agama Hindu .
Meskipun
Buddhisme dan Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, nampaknya kepercayaan
leluhur masih memerankan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
ditunjukkan dengan struktur candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan
nenek moyang, yang berwujud batu megalit, yang ditempatkan di teras tertinggi
dari tempat suci itu.
Setelah
Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa akhir pemerintahan Raja
Brawijaya V (1468 - 1478) dan runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur
Agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam. Kerajaan
Majapahit yang mengalami keruntuhan pada tahun 1478 juga membawa dampak
runtuhnya pilar-pilar kejayaan Agama Buddha di Nusantara (Indonesia). Rakyat
yang tetap setia memeluk agama Shiva-Buddha mengungsi dan berkumpul di berbagai
tempat di Jawa Timur dan Pulau Bali. Namun, sebuah literatur kuno mengatakan
bahwa Agama Buddha di Indonesia akan tertidur dalam 4 jaman dan akan bangkit
kembali setelah 500 tahun kemudian semenjak runtuhnya Kerajaan Mahapahit pada
tahun 1478.
Setelah
Majapahit runtuh, Nusantara memasuki jaman kerajaan-kerajaan Islam sekitar
tahun 1478 sampai tahun 1813. Pada akhir masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam,
bangsa Eropa mulai menjejakkan kakinya ke bumi pertiwi dan Nusantara memasuki
jaman kolonial (penjajahan). Bangsa Belanda mulai menjajah Indonesia setelah
didahului oleh bangsa Portugis. Selama lebih kurang 350 tahun Belanda menjajah
Indonesia.
Datang
bersama dengan kaum penjajah, para misionaris-misionaris yang menyebarkan agama
Kristen datang ke Indonesia. Selain itu, terdapat juga cendikiawan Belanda yang
datang untuk keperluan meneliti sejarah dan kebudayaan bangsa yang dijajah.
Belanda mempelajari itu semua, dengan tujuan untuk melanggengkan penguasaan
bangsanya atas bangsa yang terjajah.
Pada
masa itu, di Indonesia hanya dikenal adanya tiga agama yaitu agama Kristen
Protestan, Katolik dan Islam sedangkan Agama Buddha tidak disebut-sebut
meskipun candi Borobudur telah kembali diketemukan pada tahun 1814 oleh Sir
Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa. Hal ini
adalah salah satu sikap Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu. Dengan demikian
Agama Buddha dianggap sudah sirna di bumi Indonesia, tetapi secara tersirat di
dalam sanubari bangsa Indonesia, Agama Buddha masih tetap terasa antara ada dan
tiada.
Pada
jaman Pemerintahan Kolonial Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) didirikan
Perhimpunan Teosofi oleh orang-orang Belanda terpelajar. Tujuan dari Teosofi
ini mempelajari inti kebjaksanaan semua agama dan untuk menciptakan inti
persaudaraan yang universal. Teosofi mengajarkan pula kebijaksanaan dari Agama
Buddha, di mana seluruh anggota Teosofi tanpa memandang perbedaan agama, juga
mempelajari Agama Buddha. Dari ceramah-ceramah dan meditasi Agama Buddha yang
diberikan di Loji Teosofi di Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya dan
sebagainya, Agama Buddha mulai dikenal, dipelajari dan dihayati. Dari sini
lahirlah penganut Agama Buddha di Indonesia, yang setelah Indonesia merdeka
mereka menjadi pelopor kebangkitan kembali Agama Buddha di Indonesia.
Selain
itu, di Batavia timbul pula usaha untuk melestarikan ajaran Agama Buddha
Mahayana, Kong Hu Chu dan Tao yang kemudian lahirlah Organisasi Sam Kauw Hwee
(Tri Dharma / Tiga Ajaran) bertujuan untuk mempelajari ketiga ajaran agama dan
kepercayaan tersebut.
Dari
sini pula kemudian lahir penganut Agama Buddha, yang dalam jaman kemerdekaan
Agama Buddha mulai bangkit dan berkembang. Tidak jarang, bhiksu-bhiksu
(hweshio-hweshio) dari Tiongkok datang memberikan bimbingan di kelenteng-kelenteng.
Namum pada umumnya yang mereka berikan hanya penjelasan mengenai bentuk-bentuk
upacara seperti bagaimana memasang dupa (hio) dan cara-cara sembahyang, menjaga
lilin dan sebagainya. Jarang sekali mengungkapkan ajaran Buddha secara rinci.
Ditahun
1920-an muncul satu tokoh di kalangan Tri Dharma yang bernama Kwee Tek Hoay (31
Juli 1886 - 4 Juli 1952), seorang pedagang, penulis yang tajam dan juga
budayawan. Ia menerbitkan majalah berbahasa Indonesia pertama yang berisikan
ajaran Agama Buddha, dengan nama Moestika Dharma (1932 - 1934).
Dari
majalah Moestika Dharma yang terbit pada tahun 1932 di Jakarta, diketahui bahwa
telah berdiri sebuah organisasi Buddhis bernama Java Buddhist Association di
bawah kepemimpinan E. Power dan Josias van Dienst. Organisasi ini merupakan
anggota International Buddhist Mission yang berpusat di Thaton Birma
(organisasi ini mengacu pada Agama Buddha Theravada). Kemudian berlanjut dengan
International Buddhist Mission, Java Section yang berdiri di Batavia tahun 1932
dengan Deputy Director Generalnya
adalah Josias van Dienst.
Kedatangan
Pandita Josias membuka pikiran banyak tokoh-tokoh masyarakat yang memperhatikan
Agama Buddha. Di kelenteng, waktu ia berdiskusi dengan bhiksu-bhiksu
(hweshio-hweshio), banyak tokoh-tokoh kelenteng yang ikut mendengarkan.
Pembicaraan antara upasaka keturunan Belanda itu dengan tokoh kelenteng adalah
berkisar pada ajaran Agama Buddha dan perkembangannya di Pulau Jawa.
Atas
jasa Kwee Tek Hoay, terselenggara dialog antara Pandita Josias v. Dients dan
Bhiksu Lin Feng Fei, kepala kelenteng Kwan Im Tong di Prinsenlaan (Mangga
Besar), Jakarta. Dialog itu menghasilkan kesepakatan bahwa kelenteng sebagai
tempat ibadah umat Buddha tidak hanya digunakan sebagai tempat pemujaan saja,
melainkan pula sebagai tempat untuk mendapatkan pelajaran Agama Buddha.
Sebagai
tindak lanjut dari kesepakatan itu, Bhiksu Lin Feng Fei mengizinkan Pandita
Josias memberikan ceramah Agama Buddha di kelenteng Kwan Im Tong. Kemudian
Kongkoan (Chineesche Raad), suatu badan yang mengorganisir kelenteng-kelenteng
di Jakarta, mengizinkan pula Pandita Josias memberikan ceramah di kelenteng-kelenteng
di sekitar Jakarta.
Referenci
Agama Buddha Dan
Perkembangannya Di Indonesia; Sumedha Widyadharma, P.C. MAPANBUDHI, Tangerang,
1995
Agama Hindu dan
Buddha, Harun Hadiwijono, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001
Awal Sangha
Theravada Indonesia (30 tahun Pengabdian Sangha Theravada Indonesia hal. 98-99);
Cornelis Wowor, MA, 2006
Menabur Benih
Dharma Di Nusantara – Riwayat Singkat Bhikkhu Ashin Jinarakkhita; Ir. Edij
Juangari, 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar