Kamis, 08 Mei 2014

sejarah agama buddha di Indonesia

                       
SEJARAH PERKEMBANGAN BUDDHISME DI INDONESIA 

          
 A.    Pendahuluan

Untuk mengetahui awal masuknya Buddhisme (Agama Buddha) ke Indonesia, kita memerlukan sumber yang mengacu pada peninggalan-peninggalan masa lampau. Peningggalan-peninggalan masa lalu tersebut terdiri dari prasasti-prasasti yang ditemukan dan berita-berita luar negeri, yaitu dari orang-orang China yang mengunjungi Indonesia. Prasasti yang berasal dari abad kelima hingga ketujuh tidak terlalu banyak memberikan informasi. Prasasti itu berasal dari Kalimantan, Sumatera dan Jawa. Dari prasasti itu kita hanya mengetahui bahwa pada waktu itu ada raja-raja yang memiliki nama yang berbau India, seperti Mulawarman di Kutai dan Purnawarman di Jawa Barat. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa raja tersebut berasal dari India. Yang paling mungkin adalah raja-raja tersebut adalah orang Indonesia asli yang sudah memeluk  agama yang datang dari India. Selanjutnya prasasti tersebut menunjukan bahwa agama yang dipeluk adalah Hinduisme (bukan Buddhisme). Tetapi dari penemuan patung-patung Buddha di beberapa bagian di Indonesia, jelaslah dapat disimpulkan bahwa Buddhisme juga sudah memasuki Indonesia, walaupun mungkin belum begitu meluas.
Sebelum kedatangan agama yang datang dari India, dapat dipastikan bahwa Pada jaman dahulu orang-orang di Indonesia menyembah dan memuja roh leluhur. Leluhur dianggap sebagai yang telah berjasa dan mempunyai banyak pengalaman. Roh leluhur, Hyang, atau Dahyang, demikian beberapa sebutan yang biasa dipakai, menurut kepercayaan pada waktu itu dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat digunakan oleh orang-orang yang masih hidup. Kekuatan gaib itu diperlukan jika orang mulai suatu pekerjaan yang penting. Misalnya akan berangkat perang, akan mulai mengerjakan tanah, dan lain sebagainya.     
Mereka percaya juga bahwa benda-benda seperti pohon besar, batu besar, gunung dan sebagainya dihuni oleh roh-roh. Ada kalanya benda-benda atau senjata-senjata juga dianggap bertuah dan sakti sehingga dijadikan jimat oleh pemiliknya. Upacara pemujaan roh leluhur harus diatur sebaik-baiknya, agar restu mudah diperoleh. Pertunjukan wayang erat hubungannya dengan upacara tersebut. Kepercayaan kepada Hyang masih dapat kita lihat sampai saat ini.

           B.     Jaman Kerajaan Sriwijaya Dan Kalinga
Pada akhir abad ke-7, seorang bhiksu yang berasal dari Dinasti Tang di China yang bernama I-Tsing (635-713) mencatat dengan lengkap mengenai Agama Buddha dan aplikasinya di India dan Melayu. Ia melakukan perjalanan ke India pada tahun 672 dan singgah ke Sriwijaya, Sumatera, pada tahun 685. I-Tsing menghabiskan waktunya hidup sendirian sebagai bhiksu di India dan Sumatera. Seluruh bukunya merupakan catatan lengkap tentang kehidupan biarawan. Ia tinggal di India seluruhnya berdasarkan peraturan vinaya.
Bila dibandingkan catatan Fa Hsien tahun 414 dengan catatan I-Tsing, dapat diambil kesimpulan bahwa Agama Buddha di pulau Jawa dan Sumatera telah dibangun dengan sangat cepat. Pekerjaan I-Tsing selain menulis catatan seperti dikemukakan di atas, ia juga menulis buku tentang perjalanan seorang guru agama asal China bernama Hwui Ning yang datang ke Kerajaan Kalingga (Ho-Ling) di Jawa.
Prasasti lain yang dibuat tahun 775, ditemukan di Viengsa, semenanjung Melayu mengemukakan bahwa salah satu raja Sriwijaya dari keturunan Sailendra - yang tidak cuma memerintah di selatan Sumatera tapi juga dibagian selatan semenanjung Melayu - memerintahkan pembangunan tiga stupa. Ketiga stupa tersebut dipersembahkan kepada Buddha, Bodhisattva Avalokitesvara dan Vajrapani. Dan ditempat lain ditemukan plat emas yang bertuliskan beberapa nama Dyani Buddha; yang jelas-jelas merupakan aliran Mahayana.
Dari berita I-Tsing dan beberapa prasasti tersebut, selanjutnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pada waktu itu, Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan yang termasyur karena merupakan pusat ilmu dan kebudayaan Buddhis. Di sana terdapat banyak vihara dan dihuni oleh ribuan bhikkhu. Di Perguruan Tinggi Agama Buddha di Sriwijaya, selain kuliah-kuliah tentang Agama Buddha, orang dapat mengikuti juga kuliah-kuliah tentang bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi).
Kemudian, seiring dengan pergantian waktu, agaknya Mahayanalah yang berkembang dan berpengaruh besar di bumi Sriwijaya. Hal ini terbukti dari beberapa prasasti yang didapat disekitar Palembang yang menyebutkan bahwa “daputa hyang” (barangkali berarti perdana menteri) berusaha mencari berkat dan kekuatan gaib (kesaktian) guna meneguhkan kerajaan Sriwijaya, agar segala mahluk dapat menikmatinya. Dari ungkapan-ungkapan yang digunakan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa upacara ini adalah upacara Indonesia kuno yang sesuai dengan ajaran Mahayana. Dari berita-berita yang lain jelaslah bahwa Mahayanalah yang berpengaruh pada masa itu. Bahkan bukan cuma itu saja, mungkin pengaruh Tantra (Vajrayana), yang di India mempengaruhi Agama Buddha sejak pertengahan abad ketujuh, juga terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat dari uraian bahwa salah satu tingkat untuk mendapatkan kondisi tertinggi adalah Vajra Sarira atau Tubuh Intan, yang mengingatkan kita kepada ajaran Vajrayana.
Dari uraian di atas dapat dikataan bahwa pada tahap permulaan masih ada hubungan yang erat 
antara Indonesia dan India. Namun, hubungan ini agaknya makin lama makin berkurang.

            C.    Jaman Kerajaan Sailendra
Informasi mengenai keadaan Agama Buddha pada masa Kerajaan Sailendra nampaknya lebih jelas dibanding pada masa Kerajaan Sriwijaya. Hal ini dikarenakan sumber-sumber yang memberi informasi mengenai Agama Buddha lebih banyak, misalnya dengan keberadaan prasasi-prasasti dan bangunan-bangunan seperti candi.
Sekitar tahun 775 sampai dengan 850 di daerah Bagelan dan Yogyakarta, di Jawa Tengah berkuasalah raja-raja dari wangsa Sailendra yang memeluk Agama Buddha dan wangsa Sanjaya yang memeluk agama Hindu-Shiva. Inilah jaman keemasan bagi Mataram dan negara pada saat itu aman dan makmur karena kedua wangsa (dinasti) itu saling menolong satu sama yang lain dalam mendirikan tempat-tempat suci (candi).
Di kerajaan Sailendra agama yang dipeluk adalah Agama Buddha Mahayana. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan-peninggalan sejarah dan candi dari kerajaan ini yang bercorak Mahayana. Walaupun kerajaan Sailendra banyak mendirikan candi namun masih terbilang sedikit bila dibandingkan dengan candi yang dibangun oleh kerajaan Sanjaya. Selain berdasarkan prasasti-prasasti yang ada, bahwa Agama Buddha yang berkembang adalah Buddha Mahayana, jelas terlihat dari candi di desa Kalasan - yang kemudian diabadikan sebagai nama candi tersebut. Candi ini dipergunakan untuk pemujaan kepada Tara, pemujaan kepada Bodhisattva Avalokitesvara, peresmian rupang (arca) Bodhisattva Manjusri, dan sebaginya.
Nampaknya, pada masa ini kerajaan di Jawa Tengah masih ada hubungan yang erat dengan India, sebab ada juga berita bahwa seorang guru dari Gaudadwipa (Bengala) yang memimpin upacara pada waktu peresmian rupang Manjusri. Demikian juga diberitakan diprasasti lain bahwa ada orang dari Gujarat yang senantiasa melakukan kebaktian di candi tertentu. Dugaan itu berasal dari berita di India. Raja Dewapala dari dinasti Pala (Bengala) pada tahun pemerintahannya yang ke-39 (antara tahun 856 sampai 860) menghadiahkan beberapa desa untuk keperluan pemeliharan sebuah vihara di Nalanda, yang didirikan oleh Balaputra, raja dari Suwarnadwipa (Sumatera), cucu raja di Jawa.
Sekalipun demikian, nampaknya keadaan di Jawa Tengah tidaklah sama dengan keadaan di Sriwijaya yang menjadi pusat Agama Buddha. Namun, aliran Mahayana yang bagaimanakah yang berkembang di Jawa Tengah? Pertanyaan ini sukar untuk dijawab. Tapi, yang perlu diperhatikan adalah apa yang tertera pada prasasti Kalurak (782) yang agaknya berhubungan dengan peresmian rupang Manjusri. Disebutkan dalam prasasti itu bahwa Manjusri selain disamakan dan anggap sebagai salah satu perwujudan dari Triratna (Buddha, Dhamma, dan Sangha), Ia juga disamakan dan anggap sebagai salah satu perwujudan dari Trimurti yaitu Brahma, Vishnu dan Mahesvara (Shiva). Hal ini menimbulkan suatu teori bahwa telah terjadi sinkretisasi (penyerasian, pencampuran) antara Agama Buddha Mahayana dengan agama Hindu di Jawa Tengah. Bagi para pengikut Mahayana di Jawa Tengah, agaknya para Bodhisattva tidak dibedakan dengan dewa dari agama Hindu.
Disamping prasasti, ada pula candi-candi yang menjadi bukti keberadaan Agama Buddha di Jawa Tengah. Pada masa itu, ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang Agama Buddha, sangatlah maju. Kesenian - terutama seni pahat, mencapai taraf yang sangat tinggi. Seniman-seniman nusantara telah menghasilkan karya seni yang mengagumkan, misalnya candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan, dan Sewu. Dari candi-candi tersebut memberikan kita penjelasan yang lebih banyak. Selain candi-candi tersebut di atas, sebenarnya masih banyak lagi candi-candi yang didirikan atas perintah raja-raja Sailendra. Tetapi yang paling besar dan paling indah serta terkenal adalah Candi Borobudur yang dibangun pada masa Raja Samarottungga. Jika kita ingin memahami filosofi dibalik kemegahan Borobudur, bangunan itu harus dipandang sebagai suatu satu kesatuan. Borobudur yang mengandung filosofi Mahayana dan juga Tantrayana (Vajrayana) ini, secara menyeluruh mengungkapkan gambaran mengenai alam semesta atau kosmos. Borobudur terbagi atas tiga bagian, yaitu Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu. Kamadhatu adalah tingkat hawa napsu dan ini digambarkan dengan jelas pada bagian bawah atau kaki candi. Di sini merupakan kehidupan yang terikat oleh hawa napsu dan segala hal yang berbau duniawi. Rupadhatu adalah tingkat dunia rupa, atau alam yang terbentuk, yang digambarkan pada lima teras yang menggambarkan kehidupan Buddha Gotama. Arupadhatu adalah tingkat alam yang tak berupa, tidak berbentuk. Pada tingkat teratas terdapat sebuah stupa yang kosong, yang menggambarkan sunyata atau Nirvana. Borobudur adalah tempat untuk bermeditasi, tempat untuk merenung.
Mengingat bahwa Borobudur dibangun diatas bukit, agaknya pembangunan Borobudur itu dijiwai oleh gagasan Indonesia kuno, yaitu tentang adanya tempat suci yang berbentuk teras, yang biasanya dipakai untuk menghormati nenek moyang, dan terletak diatas bukit. Oleh karena itu maka kiranya pemujaan kepada Bodhisattva sudah dipandang sebagai alat untuk menghormati nenek moyang mereka yang sudah meninggal. Jika demikian maka Agama Buddha pada waktu ini sudah dipengaruhi oleh cita-cita keagamaan Indonesia asli.
Setelah Raja Samarottungga wafat, kerajaan Mataram kembali diperintah oleh raja-raja dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu-Shiva, namun Agama Buddha dan agama Hindu-Shiva dapat berkembang terus berdampingan dengan rukun dan damai.


            D.    Jaman Kerajaan Majapahit
Pada akhir abad ke-10 kita tidak mendengar lagi kerajaan Hindu di Jawa Tengah, tetapi sejak tahun 929 prasasti-prasasi hanya terdapat di Jawa Timur. Di Jawa Timur, sepertinya Agama Buddha dan agama Hindu-Shiva hidup berdampingan. Hal ini tertera dari prasasti-prasasti dimana seorang empu bernama Sindok disebut dengan gelar Sri Isana (sebutan Shiva) sedangkan putrinya menikah dengan Lokapala yang juga disebut Sugatapaksa (sebutan Buddhis). Juga ditemukan pengaruh Tantra pada kedua agama ini cukup kuat.
Dari kepustakaan keagamaan yang ada, didapat bahwa kepustakaan yang terkuno disusun sedemikian rupa, hingga terdiri dari ayat-ayat dalam bahasa Sanskerta, yang diikuti oleh keterangan bebas dalam bahasa Jawa kuno. Dari sini terlihat bahwa ayat-ayat itu berasal dari India. Jadi dalam karyanya pada masa itu orang masih terikat pada kebudayaan India. Kemudian selanjutnya orang-orang pada masa itu mulai menghasilkan kepustakaan yang seluruhnya ditulis dalam bahasa Jawa kuno dengan diselingi bait-bait dalam bahasa Sanskerta. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan dengan kebudayaan India sudah mulai longgar. Dan terdapat kitab yang seluruhnya terdiri dari bahasa Jawa kuno, hanya kadang terdapat selingan dalam bahasa Sanskrit. Ini menunjukkan bahwa pengaruh kebudayaan India mulai ditinggalkan.
Ada dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana pada jaman ini, yaitu “Sanghyang Kamahayanan Mantrayana” yang berisi mengenai ajaran yang ditujukan kepada bhiksu yang sedang ditahbiskan, dan “Sanghyang Kamahayanikan” yang berisi mengenai kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai pelepasan. Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam- macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Nampaknya, sikap sinkretisme dari penulis “Sanghyang Kamahayanikan” tercermin dari pengidentifikasian Shiva dengan Buddha dan menyebutnya sebagai "Shiva-Buddha", bukan lagi Shiva atau Buddha, tetapi Shiva-Buddha sebagai satu Tuhan.
Pada jaman Majapahit (1292 - 1478), sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Sepertinya aliran Hindu-Shiva, Hindu-Vishnu dan Agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Shiva dan Vishnu dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan sebagai “Harihara” yaitu rupang (arca) setengah Shiva setengah Vishnu.
Shiva dan Buddha dipandang sama. Di dalam kitab kakawin (syair) Arjunawijaya karya Mpu Tantular misalnya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para pandita menerangkan bahwa para Jina dari penjuru alam yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Shiva. Vairocana sama dengan SadaShiva yang menduduki posisi tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki posisi timur. Ratnasambhava sama dengan Brahma yang menduduki posisi selatan, Amitabha sama dengan Mahadeva yang menduduki posisi barat dan Amogasiddhi sama dengan Vishnu yang menduduki posisi utara. Oleh karena itu para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara Agama Buddha dengan Shiva. Dalam kitab “Kunjarakarna” disebutkan bahwa tiada seorang pun, baik pengikut Shiva maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Shiva-Buddha.
Dari penjelasan di atas, kita mendapat kesan bahwa pada waktu itu Agama Buddha lebih berkembang dari agama Hindu-Shiva. Ini juga dapat dilihat dari kitab kakawin Sutasoma yang juga merupakan karya Mpu Tantular yang hidup pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, yang di dalamnya menceritakan tentang kemarahan Kalarudra (tokoh agama Hindu) yang hendak membunuh Sutasoma yang diceritakan sebagai titisan Buddha. Para dewata mencoba meredakan Kalarudra dengan mengingatkan bahwa sebenarnya Buddha dan Shiva tidak bisa dibedakan. Jinatwa (hakekat Buddha) adalah sama dengan Shivatattwa (hakekat Shiva). Selanjutnya dianjurkan agar orang merenungkan Shiva-Buddha-tattwa, hakekat Shiva-Buddha. Dalam kakawin Sutasoma di dalamnya juga terdapat kalimat Ciwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tanhang Dharma Mandrawa. Dari kata-kata inilah kemudian diambil semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang kini dijadikan lambang Negara Republik Indonesia yang melambangkan motto toleransi dan persatuan.
Begitu juga dengan kisah Bubuksah. Dikisahkan ada dua saudara, yang tua bernama Gagang Aking, menganut agama Hindu-Shiva dan yang muda bernama Bubuksah, menganut Agama Buddha. Sejak muda mereka hidup sebagai pertapa di gunung Wilis. Bubuksah makan segala sesuatu yang dapat dimakan sedangkan Gagang Aking menahan makannya, ia hanya memakan tumbuh-tumbuhan saja. Mereka pun berdebat mengenai dua jenis pertapaan ini. Sesudah beberapa waktu, dewa Mahaguru mengutus Kala Wijaya dalam wujud harimau putih yang kelaparan untuk menguji kedua saudara itu. Ketika harimau putih datang ke Gagang Aking untuk memakannya, harimau tersebut dinasehati oleh Gagang Aking untuk pergi kepada saudaranya yaitu Bubuksah, yang tubuhnya lebih gemuk daripada dirinya, sedangkan ia kurus kering. Ketika harimau itu tiba ditempat Bubuksah, ia disambut dengan baik dan dengan senang hati Bubuksah menyerahkan diri pada harimau itu untuk dimakannya. Setelah itu Bubuksah dilahirkan di alam surga.
Dari kisah di atas, jelas menunjukan sebuah polemik yang ingin menunjukkan keunggulan dari Agama Buddha, dimana Bubuksah sebagai seorang Buddhis yang menghindari praktik pertapaan yang ekstrem dan yang lebih menekankan sikap batin dibanding dengan apa yang dimakan dalam kehidupannya, justru mendapatkan kebahagiaan. Yang menarik adalah kisah ini dilukiskan pada relief candi Panataran yang merupakan candi untuk agama Hindu .
Meskipun Buddhisme dan Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, nampaknya kepercayaan leluhur masih memerankan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan struktur candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan nenek moyang, yang berwujud batu megalit, yang ditempatkan di teras tertinggi dari tempat suci itu.
Setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa akhir pemerintahan Raja Brawijaya V (1468 - 1478) dan runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur Agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam. Kerajaan Majapahit yang mengalami keruntuhan pada tahun 1478 juga membawa dampak runtuhnya pilar-pilar kejayaan Agama Buddha di Nusantara (Indonesia). Rakyat yang tetap setia memeluk agama Shiva-Buddha mengungsi dan berkumpul di berbagai tempat di Jawa Timur dan Pulau Bali. Namun, sebuah literatur kuno mengatakan bahwa Agama Buddha di Indonesia akan tertidur dalam 4 jaman dan akan bangkit kembali setelah 500 tahun kemudian semenjak runtuhnya Kerajaan Mahapahit pada tahun 1478.

Setelah Majapahit runtuh, Nusantara memasuki jaman kerajaan-kerajaan Islam sekitar tahun 1478 sampai tahun 1813. Pada akhir masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam, bangsa Eropa mulai menjejakkan kakinya ke bumi pertiwi dan Nusantara memasuki jaman kolonial (penjajahan). Bangsa Belanda mulai menjajah Indonesia setelah didahului oleh bangsa Portugis. Selama lebih kurang 350 tahun Belanda menjajah Indonesia.
Datang bersama dengan kaum penjajah, para misionaris-misionaris yang menyebarkan agama Kristen datang ke Indonesia. Selain itu, terdapat juga cendikiawan Belanda yang datang untuk keperluan meneliti sejarah dan kebudayaan bangsa yang dijajah. Belanda mempelajari itu semua, dengan tujuan untuk melanggengkan penguasaan bangsanya atas bangsa yang terjajah.
Pada masa itu, di Indonesia hanya dikenal adanya tiga agama yaitu agama Kristen Protestan, Katolik dan Islam sedangkan Agama Buddha tidak disebut-sebut meskipun candi Borobudur telah kembali diketemukan pada tahun 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa. Hal ini adalah salah satu sikap Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu. Dengan demikian Agama Buddha dianggap sudah sirna di bumi Indonesia, tetapi secara tersirat di dalam sanubari bangsa Indonesia, Agama Buddha masih tetap terasa antara ada dan tiada.
Pada jaman Pemerintahan Kolonial Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) didirikan Perhimpunan Teosofi oleh orang-orang Belanda terpelajar. Tujuan dari Teosofi ini mempelajari inti kebjaksanaan semua agama dan untuk menciptakan inti persaudaraan yang universal. Teosofi mengajarkan pula kebijaksanaan dari Agama Buddha, di mana seluruh anggota Teosofi tanpa memandang perbedaan agama, juga mempelajari Agama Buddha. Dari ceramah-ceramah dan meditasi Agama Buddha yang diberikan di Loji Teosofi di Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya dan sebagainya, Agama Buddha mulai dikenal, dipelajari dan dihayati. Dari sini lahirlah penganut Agama Buddha di Indonesia, yang setelah Indonesia merdeka mereka menjadi pelopor kebangkitan kembali Agama Buddha di Indonesia.
Selain itu, di Batavia timbul pula usaha untuk melestarikan ajaran Agama Buddha Mahayana, Kong Hu Chu dan Tao yang kemudian lahirlah Organisasi Sam Kauw Hwee (Tri Dharma / Tiga Ajaran) bertujuan untuk mempelajari ketiga ajaran agama dan kepercayaan tersebut.
Dari sini pula kemudian lahir penganut Agama Buddha, yang dalam jaman kemerdekaan Agama Buddha mulai bangkit dan berkembang. Tidak jarang, bhiksu-bhiksu (hweshio-hweshio) dari Tiongkok datang memberikan bimbingan di kelenteng-kelenteng. Namum pada umumnya yang mereka berikan hanya penjelasan mengenai bentuk-bentuk upacara seperti bagaimana memasang dupa (hio) dan cara-cara sembahyang, menjaga lilin dan sebagainya. Jarang sekali mengungkapkan ajaran Buddha secara rinci.

Ditahun 1920-an muncul satu tokoh di kalangan Tri Dharma yang bernama Kwee Tek Hoay (31 Juli 1886 - 4 Juli 1952), seorang pedagang, penulis yang tajam dan juga budayawan. Ia menerbitkan majalah berbahasa Indonesia pertama yang berisikan ajaran Agama Buddha, dengan nama Moestika Dharma (1932 - 1934).
Dari majalah Moestika Dharma yang terbit pada tahun 1932 di Jakarta, diketahui bahwa telah berdiri sebuah organisasi Buddhis bernama Java Buddhist Association di bawah kepemimpinan E. Power dan Josias van Dienst. Organisasi ini merupakan anggota International Buddhist Mission yang berpusat di Thaton Birma (organisasi ini mengacu pada Agama Buddha Theravada). Kemudian berlanjut dengan International Buddhist Mission, Java Section yang berdiri di Batavia tahun 1932 dengan Deputy Director         Generalnya adalah Josias van Dienst.
Kedatangan Pandita Josias membuka pikiran banyak tokoh-tokoh masyarakat yang memperhatikan Agama Buddha. Di kelenteng, waktu ia berdiskusi dengan bhiksu-bhiksu (hweshio-hweshio), banyak tokoh-tokoh kelenteng yang ikut mendengarkan. Pembicaraan antara upasaka keturunan Belanda itu dengan tokoh kelenteng adalah berkisar pada ajaran Agama Buddha dan perkembangannya di Pulau Jawa.
Atas jasa Kwee Tek Hoay, terselenggara dialog antara Pandita Josias v. Dients dan Bhiksu Lin Feng Fei, kepala kelenteng Kwan Im Tong di Prinsenlaan (Mangga Besar), Jakarta. Dialog itu menghasilkan kesepakatan bahwa kelenteng sebagai tempat ibadah umat Buddha tidak hanya digunakan sebagai tempat pemujaan saja, melainkan pula sebagai tempat untuk mendapatkan pelajaran Agama Buddha.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan itu, Bhiksu Lin Feng Fei mengizinkan Pandita Josias memberikan ceramah Agama Buddha di kelenteng Kwan Im Tong. Kemudian Kongkoan (Chineesche Raad), suatu badan yang mengorganisir kelenteng-kelenteng di Jakarta, mengizinkan pula Pandita Josias memberikan ceramah di kelenteng-kelenteng di sekitar Jakarta.



Referenci
Agama Buddha Dan Perkembangannya Di Indonesia; Sumedha Widyadharma, P.C. MAPANBUDHI, Tangerang, 1995
Agama Hindu dan Buddha, Harun Hadiwijono, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001
Awal Sangha Theravada Indonesia (30 tahun Pengabdian Sangha Theravada Indonesia hal. 98-99); Cornelis Wowor, MA, 2006
Menabur Benih Dharma Di Nusantara – Riwayat Singkat Bhikkhu Ashin Jinarakkhita; Ir. Edij Juangari, 1999.
                     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar